Lihat di langit sana Sya, kabut itu pekat menggulung menenggelamkan jingga senja. Angin bertiup dingin mengusir hangat sisa peninggalan mentari. Tapi gelap itu awal rintik gerimis yang akan turun menyapa menyirami bumi.” SEX
Nasya hanya diam menunduk, derai airmata mengalir dari sudut bening matanya yang sayu. “Hikz… Hikz…” isak tangis tertahan lirih terdengar, sendu menghiasi wajah cantiknya.
“Glegeeeer…!” Gemuruh guntur menandai mendung hitam yang menggantung berubah menjadi gerimis kemudian hujan. “Hujan telah turun Sya, dan kisah kita juga harus usai, kita harus berteduh, kita hanya jingga senja yang harus tenggelam di balik kabut, kita harus putus.”
Bersama gemuruh guntur itu, “ceplaaak…!” sebuah tamparan keras menyapa pipiku, “brengsek kamu Ndra,” kemudian bersambung cacian untuk-ku. Seketika kami menjadi pusat perhatian seisi pengunjung warung angkringan nasi kucing Pakde Tekat, “pengecut kamu, banci…!”
“Hee…” aku memaksakan seuntai senyum kecut untuk menutupi rasa malu, “maaf Sya… Sorry,” kataku pelan sambil meremas lembut jemarinya.
Nasya menampik genggamanku, “banci loe Ndra… Pengecut!” dan sekali lagi mencaci sambil mendorong tubuhku. “Gue benci ama loe!” dengan berlinang air mata Nasya berlari meninggalkanku menembus gerimis yang telah berubah menjadi hujan deras.
Aku kembali menguntai senyum kecut memandang kepergiannya, “Heee…” ku tebar senyumku itu menyapa puluhan pasang mata yang menyaksikan tragedi antara aku dan dia. “Maaf,” ucapku kepada mereka. Hatiku bergemuruh, “Dhe… Kopi item Dhe,” tapi aku berusaha sesantai mungkin sambil duduk lesahan bersandar di pojokan warung.
Tak berapa lama menunggu, “ni kopinya Mas,” kata Agus anak Pakdhe Tekat sambil meletak-kan segelas kopi hitam di depan ku. “Barusan kenapa Mas?” tanya-nya sambil modus mencopet sebatang rokok-ku.
“Biasa, putus,” jawabku santai sambil turut menyalakan sebatang rokok.
Agus menyalakan sebatang rokok itu, “edian sampean Mas, cewek cakep kek gitu di putusin,” menghisap dan mengepulkan asapnya yang nikmat.
“Ya ginilah resiko jadi orang ganteng Gus.”
“Hasyuuuu…” katanya sambil beranjak pergi meninggalkanku.
Hujan kopi dan sebatang rokok adalah racikan yang sempurna untuk bersantai. Tapi tragedi dan tamparan keras Nasya melarangku untuk menikmati itu. Tamparan-nya memaksaku untuk merenungkan salah benar keputusan yang telah ku ambil, “putus.” Aku harus menjelajahi relung benak-ku sendiri.
“Aku bukan seorang pengecut,” Kata para pujangga cinta itu buta, tapi aku tidak buta. Aku hanya manusia biasa yang harus menyerah tunduk pada realita, [/i]bahwa cinta hanyalah bunga dunia”[/i] Kisah manis itu telah usai, walau berat asmara ini harus di akhiri. Segala indah dan bahagia itu biar kini menjadi kenangan, riwayat putih perjalanan kita. Aku dan kamu kini hanya serpihan masa lalu, semua sumpah dan janji hanyalah pemanis kisah dulu.
~~~***~~~
Kamar kost 4×4 empat meter yang menjadi saksi. Di suatu senja, di saat turun gerimis seperti sekarang ini, kami di rasuki nafsu menggebu-gebu. “Eeeeeeeeeemh…” lengguh manja Nasya sambil kami berpagutan mesra.
Ku peluk tubuhnya erat dalam pelukanku, satu tanganku nakal menggerayang menyusuri setiap inci lekuk tubuhnya. “love you Sya,” bisik-ku lembut sambil menggigit manja telinganya.
“Eeeeeengh…” Nasya menggeliat melengguh manja, “love you to Ndra,” balasnya sambil menyunggingkan senyum terindahnya untuk ku. Perlahan Nasya melepaskan diri dari dekapanku, membaringkan tubuh indahnya di atas kasur lantai kamar kost ku, “ambil aku Ndra,” katanya berlambar kerling senyum manja.
“Njier… Keringat dinging langsung menjalari sekujur tubuhku, “ya-yakin Sya?” tanyaku setengah terbata. Seketika kelelakianku runtuh saat di tantang menunaikan kodratku, “aku belum pernah tau.”
Sama keles, aku masih perawan juga kali Ndra.”
Perlahan aku menyusulnya, berbaring di sampingnya dan memeluknya, “aku grogi.”
“Ya sama.”
“Aku juga takut.”
“Sama.”
Kemudian kami kembali berpagutan mesra, “eeeeeeeeeemh…” lengguh-lengguh nafsu tak bisa tertahan lagi. Sambil memagutnya, tanganku mengusap perut rampingnya kemudian nakal menyusup masuk menerobos celana jeans-nya, “sekarang?” bisik-ku.
“Heee…” Nasya tersenyum sambil membuka kancing celananya, “sabar dulu dong sayang,” ucapanya sambil menarik turun resleting jeansnya. Takdir telah menunggu dan aku tak mau hanya diam menunggu, dengan sedikit gemetar aku membantu menarik lepas celana jeans itu.
“Omigod” Syurga dunia itu terpampang nyata di hadapanku setelah lepas celananya. Walau masih terbalut celana dalam sexy strip zebra, tapi keindahan-nya mampu memacu degub jantungku di atas normal, memaku tubuhku diam terpaku, “indah.”
“Malah bengong,” ucap Nasya sambil menarik lepas kaos putih Hello kitty nya, “groginya gak usah lebay kali,” sambungnya sambil melempar kaos itu kewajahku, “Nasya jadi malu ni,”
Aku mengangguk pelan, “iya.”
Nasya kemudian menarik-ku jatuh memeluknya, “perawanin aku Ndra,” memagut bibirku liar dan menuntun tanganku menjamah kemaluan-nya, “ini milikmu sayang.” Ku pandang lekat mata sayu penuh nafsu itu, “yakin kamu siap Sya?”
Nasya mengangguk, “yakin, seyakin aku bernafas,” kemudian menarik lepas kaos yang aku pakai, “aku milikmu seutuhnya sayang,” sambungnya sambil lagi-lagi memasang senyum maut yang membuatku meleleh seketika, “aku milikmu dan aku hak mu.”
“Huh…” Ku mantapkan tekat sambil turut menelanjangi tubuhku, “okelah kalau begitu.”
Begitu aku telanjang bulat, “Hihihihihi…” Nasya tiba-tiba tertawa geli sambil menutup mulutnya.
“Kenapa?” tanyaku bingung.
“Itu…” katanya sambil menunjuk kontolku.
Reflek aku menutupi kontolku dengan tangan, “kenapa emang?” tanyaku lagi sambil sedikit mengernyitkan dahi, “kecil ya?” seketika mental dan kebanggaanku runtuh.
“Hehehehe… Lucu.”
“Lucu?”
“Iya, kayak sosis.” sambungnya sambil melucuti atribut terakhir nyang menempel di tubuhnya. Sekarang kami sama-sama telanjang bulat, hanya berdua di kamar kost 4×4 meter. Di luar sana hujan sedang turun dengan lebatnya, “romatis.”
“Kecil ya Sya?”
“Ya nggak tau.” Nasya menarik-ku pelan, “udah ayuk ah…”
“Dug dug dug dug…” jantungku berdegub semakin kencang bahkan hampir mengantarku ke ambang pingsan saat memposisikan diri diantara kedua kakinya yang mengangkang. “i love you Ndra,” ucapnya sambil membantuku memposisikan diri.
Perlahan ku tuntun kontolku menyentuh bibir kemaluannya, “siap Sya?” Nasya hanya mengangguk pasrah. “nggak pakek pemanasan dulu, jilat jilat memek gitu misalnya kek di tivi tivi?” sambungku.
Nasya menggeliat mengatur posisinya, “nggak usah, to the point aja.”
Aku perlahan mulai menggoyangkan pinggul, ku gesek-kan ujung kepala kontolku naik turun membelah celah bibir kemaluan-nya, “eeeeeeeeemh… ayo tusuk Ndra… Aaaaaugh…” lengguh Nasya tak sabaran.
Kemaluan Nasya secepat itu sudah basah total. Setelah menemukan lubang kenikmatan-nya, perlahan ku dorong kontolku menyeruak masuk mili demi mili. “eeeeeeeeeengh…” kami bedua melengguh meresapi penyatuan pertama ini. Sempit, walau susah dah harus dengan perjuangan akhirnya kontolku masuk juga dan berhenti setelah merasa ada sesuatu yang menghalangi, “sakit Sya?” tanyaku melihat Nasya terpejam meringis.
Nasya menatapku dengan tatapan sayu, “sedikit,” jawabnya sambil berusaha tersenyum menyembunyikan sakitnya.
“Ini belum masuk semua Sya.”
“Iya.” jawabnya sambil menggigit bibir menahan perih.
“Kamu siap sayang, katanya ini sakit.”
“He’eh…” Nasya mengangguk sambil menarik nafas dalam mempersiapkan diri. “e’eeeeeeeeeeh…” Nasya terbelalak, “sak… Eeeeeuh… Sakit…” meringis melengguh keras sambil meremas kasur lantai saat ku dorong kuat kontolku merobek selaput keperawanan-nya.
“Aku sayang kamu selamanya Sya,” setelah tuntas tugasku menembus keperawanan-nya, ku diamkan sebentar kontolku menancap gagah di kemaluan-nya. “Kamu nggak apa-apa Sya?” Nasya hanya menggeleng pelan. Dengan lembut ku usap pipi-nya dan ku daratkan sebuah kecupan sayang di keningnya, “aku sayang kamu Sya, kamu hidup dan matiku.”
“Aku juga sayang kamu,” jawab-nya sambil menarik-ku jatuh mendekapnya dan memeluk-ku erat, “sayang kamu,” sambungnya sambil memagut bibirku.
Sejenak kami berpagutan hebat, “eeeeeeeengh…” Bahagia menjalar di jiwaku, cinta semakin kuat menguasai ragaku. Dia kini tlah utuh menjadi milik-ku, jiwa dan raganya. “Sya….” perlahan mulai ku gerak-kan pinggulku pelan.
Nasya memejamkan mata sambil menggigit bibir menahan perih, “Pelan-pelan Yang,” katanya sambil setengah menahan pinggulku. Kembali ku kecup manis kening-nya, “iya sayang,” jawabku sambil menyunggingkan senyum.
Sensasi ini setinggi ujung dunia, nikmat tak terkira bagai di pintu syurga saat aku menyetubuhinya. “aaaaaaaaaaaegh… Cep-cep aaaaaaaaugh… Cepetin dik-dikit…” Nasya perlahan mulai mengimbangi goyanganku. Saat aku menghujam menusuk, Nasya menyambutnya, membenamkan kontolku dalam menembus pintu rahimnya.
“Cplak… Cplak… Cplak…” goyanganku semakin lama semakin cepat semakin liar. Aku dan dia telah bersatu, terpaut cinta berbunga nafsu. “ooooooooomh…” desah dan lengguhan erotis terdengar bagai alunan symfoni nada nada cinta.
~~~***~~~
Tiba-tiba lamunan indah itu terintrupsi, “Hoeeh… Nglamun aja sih?” sebuah tepukan membuyarkan semuanya, “kek jomblo galau level kecamatan coeg,” sambung Anto sambil nimbrung lesehan di sampingku, “Gus… Kopi item satu.” Kunyuk satu ini terlihat basah sepertinya habis hujan-hujanan.
“Siap Mas,” tak berapa lama kemudian Agus datang dengan kopi pesanan Anto, “Mas Andra kan sekarang emang udah jomblo Mas,” katanya ikut campur sambil meletak-kan secangkir kopi Anto.
“What..!” Anto berteriak kaget, “uhuk uhuk uhuk…” sampai tersedak asap rokok yang di hisapnya. “Seriosa Ndra?”
“Serius kali Mas?” sambung Agus mengoreksi.
“Diem loe Gus, lulusan SD kok songong ngoreksi Sarjana Ekonomi,” jawab Anto bersungut.
“Huh…” Agus melengos sambil bersungut kesal, “Sarjana nganggur aja kok sombong.”
“Gimana gimana?” tanya Anto sekali lagi. aku menjawab mengangguk pelan sambil menghisap selera pemberani favoritku. Anto menepuk dahinya sendiri, “edian ente Ndra… Seteres…”
“Kenaaaapa?”
“Bentar bentar bentar…” Anto serius duduk menghadapku sambil menghisap rokoknya dalam dalam, “loe mutusin apa di putusin?”
“Mau tau aja sih?” jawabku santai sambil menyeruput kopiku yang sudah agak dingin.
“Gue nanya serius ini kampret.”
“Gue yang mutusin dia.”
“Njier…” Anto kembali menghisap rokoknya dalam dalam, “alasan-nya?”
“Kan loe udah tau.”
“Bapaknya?”
Aku mengangguk pelan.
“Kok loe nyerah si coeg?”
“Ya kenapa emang kalau gue nyerah, masalah buat loe?”
“Ya bukan gitu Ndra?”
“Udah ah… Bawel amat loe, kepo maximal tau nggak. Suatu saat kalau loe udah ganteng kek gue pasti loe faham.”
“Ah kampret loe.”
~~~***~~~
Masih di sebuah senja, di saat mendung pekat menggulung rona jingga, di saat hujan juga turun seperti saat ini. Entah ada apa hubungan antara aku, senja, mendung, dan hujan. Yang pasti kisah penting hidupku banyak terjadi di racikan saat seperti itu.
Saat itu dengan riang Nasya mengajak-ku kerumahnya, “Papa pengen ngomong sama kamu Ndra,” katanya berbunga-bunga. Tapi entah kenapa terbersit sedikit gentar saat aku akan memasuki rumah itu. “Ayuuuuuk….” kata Nasya sambil menarik-ku masuk.
“Papa…. ada Andra ni Pa,” Nasya berteriak memanggil Papa-nya, “duduk Ndra,” kemudian mempersilahkanku duduk. “Mau minum apa Ndra?”
“Kopi item kalau ada.”
“Oke… Tunggu bentar ya,” dengan langkah centil Nasya kemudian ke dapur untuk membuat secangkir kopi cinta untuk-ku.
“Drug drug drug…” terdengar sebuah langkah mantap menuruni anak tangga, “Pak,” aku berdiri dan mengangguk sopan setelah melihat siapa yang datang, Papa Nasya, tuan Soeprapto Tan.
“Silahkan duduk,” dengan suara bariton-nya yang berwibawa beliau mempersilahkan-ku duduk sambil beliau mengambil duduk di sofa di depanku.
Aku tersenyum mengangguk sambil ikut duduk.
“Udah nggak usah banyak basa-basi Nak Andra,” aku dag dig dug merasa ada sesuatu hal buruk yang akan di sampaikan tuan Soeprapto, “saya mau mulai saat ini juga Nak Andra menyudahi hubungan dengan Nasya.”
“Jegleeeer…!” guntur dan hatiku kompak bergemuruh mendengar itu. “ke-kenapa Pak?” tanyaku terbata berusaha meminta alasan, “sa-saya salah apa?”
“Tidak ada yang salah dengan Nak Andra, saya hanya seorang ayah yang ingin memastikan masa depan anaknya, dan saya merasa Nak Andra tidak pantas buat Nasya.”
Aku menunduk diam.
“Bukan saya menghina Nak Andra, status buruh dengan gaji dua juta sebulan, saya rasa tidak cukup untuk membahagiakan Nasya. Saya tidak mau berpanjang lebar dan saya harap Nak Andra mengerti dan menyudahi sekarang juga hubungan dengan Nasya.”
Pelan, kata kata itu tenang tapi dahsyat meruntuhkan kelelakianku. Seketika gelap, masa depan cintaku suram, perih hatiku, pedih teriris penghinaan begitu sadis.
“Papa!” Nasya yang datang dengan membawa segelas kopi berteriak, “Papa apa apaan sih?” seketika gelas itu jatuh pecah berkeping-keping.
“Nasya kamu harus nurut apa kata Papa,” jawab tuan Soeprapto dengan mimik tenang sambil bediri beranjak meninggalkan kami, “mulai saat ini kalian harus selesai,” sambungnya sebelum menaiki anak tangga.
Seketika Nasya jatuh bersimpuh “Papaaaaa…! dia kembali berteriak. Terurai air mata di wajah cantik kekasihku itu, “hikz hikz hikz… Papa jahat!” tangisnya-pun tak tertahan lagi.
Setelah hari itu, setelah senja kelam bermendung itu, kami berusaha sekuat tenaga memperjuangkan cinta kami. Setengah tahun telah kami mencoba, segala daya dan upaya telah kami lakukan, tapi kekerasan hati tuan Soeprapto tetap tak tergoyahkan, “Aku tidak pantas menjalin hubungan dengan Anaknya.
~~~***~~~
“Ya kan ya kaaaan… ngelamun lagi kan?” kata Anto yang sekali lagi menginterupsi lamunanku. “Ah kampret loe,” jawabku sambil menjendul kepalanya.
“Lagian loe sok sokan ngajakin putus, galau kan loe sekarang, mampus loe.” Aku kemudian beranjak berdiri “Njier…” malas melanjutkan pembahasan dengan manusia bergigi boneng tak tau diri ini. “eh.. Mo kemana loe?” tanya-nya.
“Mo ujan-ujanan.”
“Waaaah… Mulai lapar ni anak.”
“Dhe… Kopi ngutang dulu ya,” kataku sambil keluar hujan-hujanan menghampiri motorku. “Bruuuum…” dan aku-pun langsung meluncur di atas dua roda Vario menembus kelebatan hujan. “Maafin aku Sya?” tanpa terasa aku menagis menyesali apa yang telah terjadi. Wajah cantik itu, untai senyum manja itu, sapa merdu dan lincah gaya itu kini tinggal kenangan masa lalu. Desah Symfoni nada cinta kini telah usai.
Entah sampai kapan aku akan berkabung atas matinya cintaku, runtuhnya semangatku. Tapi pasti di suatu saat nanti aku akan kembali berdiri, kembali gagah berani. Biarlah sementara aku terus berjalan di bawah kenangan-nya, melamunkan segala manis dan pahit bayangan-nya, sampai nanti suatu saat di ujung jalan sana ada takdir yang menyapaku.
Cinta tak selamanya harus memiliki
Walau cinta itu pergi bukan berarti mati
Hidup tetap harus berjalan dan berlari SEX
Sampai berhenti di ujung takdir suatu saat nanti