Pemerasan dan Pengancaman Berkedok Open BO dan Flim porno, Ini Jerat Hukumnya

Open BO adalah singkatan dari Open Booking Online, yaitu prostitusi online[1] di mana pemesan Open BO melakukan pemesanan jasa layanan seksual kepada Pekerja Seks Komersial (“PSK”) melalui media elektronik atau daring.[2] Setelah adanya kesepakatan, maka baik penjual maupun pembeli jasa layanan seksual tersebut akan bertemu secara langsung untuk melaksanakan hal yang disepakati.
Video Call Sex (“VCS”) adalah salah satu jenis penjualan jasa layanan seksual di dunia maya, melalui fitur video call[3] lewat aplikasi-aplikasi seperti WhatsApp, Facebook, Instagram atau Telegram, sehingga VCS biasanya dilakukan tanpa tatap muka secara langsung.
Menurut Adami Chazawi dalam bukunya Tindak Pidana Pornografi (hal. 184), pengertian layanan seksual adalah layanan yang berhubungan dengan alat kelamin dan atau nafsu syahwat. Layanan seksual juga berarti suatu layanan yang diberikan kepada orang dalam rangka orang menyalurkan atau melampiaskan nafsu seksualnya.

porno dalam Open BO dan VCS
Hukum positif di Indonesia telah mengatur mengenai pornografi di dalam UU Pornografi sebagaimana Pasal 1 angka 1 UU Pornografi mengatur bahwa:

Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.

Sedangkan Pasal 1 angka 2 UU Pornografi menjelaskan pengertian jasa porno sebagai berikut:

Jasa pornografi adalah segala jenis layanan pornografi yang disediakan oleh orang perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi kabel, televisi teresterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi elektronik lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang cetakan lainnya.

Larangan terhadap perbuatan-perbuatan yang berkaitan dengan porno salah satunya diatur dalam Pasal 4 UU Pornografi, yang selengkapnya berbunyi:

Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan porno yang secara eksplisit memuat:
persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
kekerasan seksual;
masturbasi atau onani;
ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
alat kelamin; atau
pornografi anak.

Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang:
menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
menyajikan secara eksplisit alat kelamin;
mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau
menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual.
Berdasarkan aturan di atas, tindakan menyediakan jasa pornografi seperti Open BO dan VCS dapat dikatakan telah memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 4 ayat (2) UU Pornografi. Kemudian, pelaku berpotensi dipidana berdasarkan Pasal 30 UU Pornografi sebagai berikut:

Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 6 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250 juta dan paling banyak Rp3 miliar.

Baca juga: Bisakah Konsumen VCS Dipidana?

Perbuatan Open BO dan VCS dalam UU ITE
Di sisi lain, proses negosiasi dan transaksi Open BO dilakukan secara daring melalui platform digital atau media elektronik, dan begitu pula dengan layanan VCS di mana baik dari proses negosiasi, transaksi, sampai eksekusi pelaksanaan kesepakatan pelayanan jasanya juga dilakukan dengan menggunakan platform digital atau media elektronik.

Maka dari itu, selain merupakan tindak pidana UU Pornografi, kegiatan Open BO dan VCS juga melanggar UU ITE dan perubahannya, dimana Pasal 27 ayat (1) UU ITE mengatur:

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.

Adapun ancaman pidana terhadap pelanggaran Pasal 27 ayat (1) UU ITE diatur dalam Pasal 45 ayat (1) UU 19/2016, yaitu pelaku dipidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.

Baca juga: Sebar Video dan Gambar porno ke Internet, Ini Sanksinya

Kemudian sebagai informasi, Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”) telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang (“RUU”) tentang perubahan kedua UU ITE dalam rapat paripurna. Hal tersebut sebagaimana dijelaskan dalam artikel DPR Beberkan 20 Perubahan dan Sisipan UU ITE Terbaru.

Dalam RUU Perubahan Kedua UU ITE (“RUU ITE”) yang telah disahkan oleh DPR, perbuatan yang dilarang dalam Pasal 27 ayat (1) berbunyi sebagai berikut:

Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyiarkan, mempertunjukkan, mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan untuk diketahui umum.

Unsur-unsur ketentuan dalam RUU ITE di atas dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 27 ayat (1) RUU ITE yaitu:

“Menyiarkan” adalah perbuatan mentransmisikan, mendistribusikan, dan membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dalam sistem elektronik.
“Mendistribusikan” adalah mengirimkan dan/atau menyebarkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik kepada banyak orang atau berbagai pihak melalui sistem elektronik.
“Mentransmisikan” adalah mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang ditujukan kepada pihak lain melalui sistem elektronik.
“Membuat dapat diakses” adalah semua perbuatan lain selain mendistribusikan dan mentransmisikan melalui sistem elektronik yang menyebabkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dapat diketahui pihak lain (publik).
“Melanggar kesusilaan” adalah melakukan perbuatan mempertunjukkan ketelanjangan, alat kelamin, dan aktivitas seksual yang bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat di tempat dan waktu perbuatan tersebut dilakukan. Penafsiran pengertian kesusilaan disesuaikan dengan standar yang berlaku pada masyarakat dalam waktu dan tempat tertentu (contemporary community standard).
“Diketahui umum” adalah untuk dapat atau sehingga dapat diakses oleh kumpulan orang banyak yang sebagian besar tidak saling mengenal.
Lalu, orang yang melanggar Pasal 27 ayat (1) RUU ITE berpotensi dipenjara maksimal 6 tahun dan/atau denda maksimal Rp1 miliar, sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (1) RUU ITE.

Namun penting untuk diketahui, menurut Pasal 45 ayat (2) RUU ITE, perbuatan dalam Pasal 27 ayat (1) RUU ITE tidak dipidana dalam hal:

dilakukan demi kepentingan umum;
dilakukan untuk pembelaan atas dirinya sendiri; atau
informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tersebut merupakan karya seni, budaya, olahraga, kesehatan, dan/atau ilmu pengetahuan.
Baca juga: Ini Bunyi Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang Dianggap Pasal Karet

Pemerasan dan Pengancaman melalui Open BO dan VCS
Berkaitan dengan pertanyaan Anda, kasus pemerasan VCS dan Open BO pada dasarnya telah diatur dalam KUHP yang pada saat artikel ini diterbitkan masih berlaku dan UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku terhitung 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[4] yaitu tahun 2026.

Namun, karena kasus ini merupakan tindak pidana yang berkaitan dengan informasi elektronik, maka aturan yang digunakan adalah UU ITE dan perubahannya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP, yaitu:

Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.

Adapun Pasal 125 ayat (2) UU 1/2023 mengatur hal serupa, yaitu:

Suatu perbuatan yang diatur dalam aturan pidana umum dan aturan pidana khusus hanya dijatuhi aturan pidana khusus, kecuali undang-undang menentukan lain.

Dikutip dari artikel 3 Asas Hukum: Lex Superior, Lex Specialis, dan Lex Posterior Beserta Contohnya, asas dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP dan Pasal 125 ayat (2) UU 1/2023 dikenal dengan lex specialis derogat legi generali, yaitu asas yang menyatakan bahwa peraturan yang lebih khusus mengesampingkan peraturan yang lebih umum.

Dengan demikian, menjawab pertanyaan Anda, tindakan pemerasan dan pengancaman secara daring termasuk pelanggaran terhadap Pasal 27 ayat (4) UU ITE yang berbunyi:

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.

Pelaku yang melanggar Pasal 27 ayat (4) UU ITE dapat diancam pidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar, sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (4) UU 19/2016.

Sebagai informasi, berdasarkan Lampiran Keputusan Bersama Menteri Kominfo, Jaksa Agung, dan Kapolri 229/154/2021, perbuatan mengancam akan membuka rahasia, mengancam menyebarkan data pribadi, foto pribadi, dan/atau video pribadi termasuk dalam perbuatan Pasal 27 ayat (4) UU ITE.

Lalu, sepanjang penelusuran kami, RUU ITE tidak mengatur perihal pemerasan secara daring seperti sebelumnya. Namun, terdapat pasal baru yaitu Pasal 27B ayat (2) RUU ITE yang mengatur perbuatan yang dilarang sebagai berikut:

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik, dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan ancaman pencemaran atau dengan ancaman akan membuka rahasia, memaksa orang supaya:

memberikan suatu barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang tersebut atau milik orang lain; atau
memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapuskan piutang.
Menurut Penjelasan Pasal 27B ayat (2) RUU ITE, yang dimaksud dengan “ancaman pencemaran” adalah ancaman menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum.

Kemudian, orang yang melanggar ketentuan dalam Pasal 27B ayat (2) RUU ITE, berpotensi dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar, sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (10) RUU ITE.

Namun, penting untuk diketahui bahwa tindak pidana dalam Pasal 27B ayat (2) RUU ITE hanya dapat dituntut atas pengaduan korban tindak pidana.[6]

Lantas, apa langkah hukum yang dapat dilakukan oleh korban pemerasan VCS/Open BO? Berikut ulasannya.

Cara Melaporkan Pelaku Pemerasan VCS
Disarikan dari artikel Jerat Pidana Pemerasan dengan Ancaman Penyebaran Video Porno, berdasarkan Pasal 42 UU ITE jo. Pasal 43 UU 19/2016 dan Pasal 102 s.d. Pasal 143 KUHAP, prosedur untuk menuntut pelaku secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut:

Orang yang merasa haknya dilanggar atau melalui kuasa hukum, datang langsung membuat laporan kejadian kepada penyidik POLRI pada unit/bagian cybercrime atau kepada penyidik PPNS (“Pejabat Pegawai Negeri Sipil”) pada Sub Direktorat Penyidikan dan Penindakan, Kementerian Komunikasi dan Informatika. Selanjutnya, penyidik akan melakukan penyelidikan yang dapat dilanjutkan dengan proses penyidikan berdasarkan hukum acara pidana dan UU ITE serta perubahannya.
Setelah proses penyidikan selesai, maka berkas perkara oleh penyidik akan dilimpahkan kepada penuntut umum untuk dilakukan penuntutan di muka pengadilan. Apabila yang melakukan penyidikan adalah PPNS, maka hasil penyidikannya disampaikan kepada penuntut umum melalui penyidik POLRI.
Sebagai informasi, dalam RUU ITE, ketentuan Pasal 43 ayat (5) ditambahkan 1 huruf, yakni huruf l yang berbunyi sebagai berikut:

PPNS berwenang untuk memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses secara sementara terhadap akun media sosial, rekening bank, uang elektronik, dan/atau aset digital.

Baca juga: Mau Melaporkan Tindak Pidana ke Polisi? Begini Prosedurnya

Dengan demikian, kami menyarankan agar tetap berhati-hati dan tidak sembarangan saat menyerahkan data pribadi seperti dalam kasus ini menyerahkan KTP kepada pihak lain agar tidak menjadi korban pemerasan atau pengancaman dari pihak-pihak tidak bertanggung jawab, sehingga dapat menyebabkan kerugian baik secara materiel maupun imateriel. Kami juga menyarankan, agar sebaiknya masyarakat menghindari penggunaan layanan jasa seksual tersebut.

Baca juga: Mantan Pacar Ancam Sebar Aib ke Medsos, Ini Jerat Hukumnya

Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang diubah kedua kalinya dengan RUU Perubahan Kedua UU ITE yang telah disahkan oleh DPR;
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi;
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 229, 154, KB/2/VI/2021 Tahun 2021 tentang Pedoman Implementasi atas Pasal Tertentu dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Referensi:

Adami Chazawi. Tindak Pidana Pornografi. Surabaya: Putra Media Nusantara, 2009;
Christiany Juditha. Prostitusi Daring: Tren Industri Jasa Seks Komersial di Media Sosial. Jurnal Pekommas, Vol. 6, No. 1, 2021;
Kondar Siregar. Model Pengaturan Hukum Tentang Pencegahan Tindak Prostitusi Berbasis Masyarakat Adat Dalihan Na Tolu. Medan: Perdana Mitra Handalan, 2016.
[1] Kondar Siregar. Model Pengaturan Hukum Tentang Pencegahan Tindak Prostitusi Berbasis Masyarakat Adat Dalihan Na Tolu. Medan: Perdana Mitra Handalan, 2016, hal. 1-3

[2] Christiany Juditha. Prostitusi Daring: Tren Industri Jasa Seks Komersial di Media Sosial. Jurnal Pekommas, Vol. 6, No. 1, 2021, hal. 56

[3] Christiany Juditha. Prostitusi Daring: Tren Industri Jasa Seks Komersial di Media Sosial. Jurnal Pekommas, Vol. 6, No. 1, 2021, hal. 56

[4] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”)

[5] Pasal 79 ayat (1) huruf d UU 1/2023

[6] Pasal 45 ayat (11) Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang telah disahkan oleh DPR (“RUU ITE”)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *